Sabtu, 23 Mei 2009

Kisah Pohon Apel


Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak

lelaki

yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap

hari.

Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan

buahnya,

tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya.

Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu.

Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh

besar dan

tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap

harinya.

Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak

sedih.

"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel

itu.

"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon

lagi." jawab anak lelaki itu.

"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang

untuk membelinya."

Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya

uang...

tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan

menjualnya.

Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan

kegemaranmu."

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua

buah apel

yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita.

Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi.

Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat

senang

melihatnya datang.

"Ayo bermain-main denganku lagi." kata pohon apel.

"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu.

"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan

rumah

untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku..?"

"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh

menebang

semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu." kata pohon

apel.

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting

pohon apel itu

dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa

bahagia

melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak

pernah kembali lagi.

Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi.

Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.

"Ayo bermain-main lagi denganku." kata pohon apel.

"Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan

ingin hidup tenang.

Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi

aku sebuah kapal untuk pesiar?"

"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong

batang

tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau

mau.

Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah. Kemudian, anak

lelaki itu

memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang

diidamkannya.

Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui

pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah

bertahun-tahun kemudian.

"Maaf anakku," kata pohon apel itu.

"Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."

"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit

buah apelmu."

Jawab anak lelaki itu. "Aku juga tak memiliki batang dan

dahan yang

bisa kau panjat." Kata pohon apel.

"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu." Jawab anak

lelaki itu.

"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku

berikan padamu.

Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan

sekarat ini."

Kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang." Kata anak

lelaki.

"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku

sangat lelah

setelah sekian lama meninggalkanmu."

"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua

adalah tempat

terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah

berbaring

di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.

Pohon apel itu

sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air

matanya.

Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu

adalah orang tua kita.

Ketika kita masih kecil, kita senang bermain-main dengan

ayah dan ibu kita.

Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan

hanya datang

ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.

Tak peduli apapun, orang tua kita akan selalu ada di sana

untuk memberikan

apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.

Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah

bertindak sangat kasar pada

pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang

tua kita, tanpa kita sadari.

Sebarkan cerita ini untuk mencerahkan lebih banyak rekan.

Dan, yang terpenting: cintailah orang tua kita.

Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita

mencintainya;

dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan

diberikannya pada kita.

Tidak ada komentar: