Jumat, 25 Juli 2014

IDUL FITRI DAN HALAL BIHALAL


Oleh Achmad Zuhdi Dh


Ada dua hari raya yang dipandang sah dalam Islam, idul fitri dan idul adha. Sedangkan hari-hari besar Islam lain yang biasa diperingati oleh umat Islam Indonesia seperti perayaan tahun baru hijriyah, isra dan mi’raj, maulid Nabi, dan nuzulul Qur’an adalah hari raya “budaya Islam”, bukan hari raya “agama Islam”.
Jika Amerika mengenal ada perayaan “Thanksgiving Day”, yang diperingati setiap tahun pada hari Kamis keempat bulan November, oleh rakyat negeri itu dengan bersuka-ria dan bersyukur kepada Tuhan bersama keluarga, maka di Indonesia ada perayaan “idul fitri”, di mana gerak mudik rakyat Indonesia terdorong kuat untuk bertemu keluarga, ayah-ibu, sanak-saudara yang dikemas dalam budaya silaturrahim dan halal bi halal.

Makna Idul Fitri

Idul fitri terdiri dari kata ‘id dan al-fithr. Kata ‘id berasal dari akar yang sama dengan kata-kata ‘awdah atau ‘awdatun, ‘aadah atau ‘aadatun dan isti’aadatun. Semua kata tersebut mengandung makna asal “kembali” atau “terulang”. Ungkapan bahasa Indonesia “adat-istiadat” adalah serapan dari bahasa Arab ‘aadat wa isti’aadatun yang berarti sesuatu yang selalu akan terulang dan diharapkan akan terus terulang, yakni sebagai “adat kebiasaan”. Dalam bahasa Arab, hari raya diartikan dengan ‘id, karena ia akan selalu datang kembali berulang-ulang secara periodik setiap tahun.

Sedangkan al-fithr adalah satu akar dengan kata al-fihtrah, yang berarti “kejadian asal yang suci” atau “kesucian asal”. Secara kebahasaan, fithrah searti dengan khilqah, yaitu ciptaan atau penciptaan. Allah sebagai Maha Pencipta adalah makna dari kata al-Khaliq atau al-Fathir. Dalam perkembangannya, istilah al-fithrah kemudian berarti “penciptaan yang suci”. Dalam pengertian ini, kata Nurcholis Madjid (2000), semua segi kehidupan seperti makan, minum, tidur dan apa saja yang wajar, tanpa berlebihan, pada manusia dan kemanusiaan adalah fithrah. Semua itu bernilai kebaikan dan kesucian karena semuanya itu berasal dari desain penciptaan Tuhan. Karena itu, berbuka puasa atau “kembali makan dan minum” setelah tadinya berpuasa juga disebut ifthar, yang secara harfiah dapat diartikan “memenuhi fitrah” yang suci dan baik. Dengan perkataan lain, makan dan minum adalah baik dan wajar pada manusia, merupakan bagian dari fitrahnya yang suci. Dari sudut pandang ini dapat dimengerti mengapa Islam tidak membenarkan manusia berusaha menempuh hidup suci dengan meninggalkan hal-hal yang wajar seperti makan, minum, tidur, berumah tangga dan lain sebagainya. Dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Saya mendengar bahwa kamu (Abdullah bin ‘Amr bin As) puasa sepanjang siang hari dan bangun untuk selalu salat malam? Benar, Ya Rasulullah. Beliau kemudian mengingatkan dengan sabdanya: “Janganlah berbuat begitu, berpuasalah dan berbukalah, tidurlah dan bangunlah untuk salat malam, karena sesungguhnya bagi tubuhmu ada hak, bagi kedua matamu ada hak, bagi isterimu ada hak dan bagi tamu juga ada hak”. Hadis ini menerangkan bahwa segala tindakan manusia yang meninggalkan kewajaran hidup manusia adalah tindakan melawan fitrah.

Berangkat dari pemahaman tentang arti idul fitri tersebut, dalam perayaan idul fitri -setelah selesai berpuasa selama bulan Ramadan- terkandung makna kembali kepada hakikat yang wajar dari manusia dan kemanusiaan, yaitu wajar untuk memenuhi keperluan makan dan minum sampai kembalinya manusia kepada fitrah dalam arti mentauhidkan Allah dan hanya ingin berbuat yang baik dan benar.
Fitrah terkait dengan hanif, artinya suatu sifat dalam diri manusia yang cenderung memihak kepada kebaikan dan kebenaran. Nabi saw bersabda:

الْبِرُّ مَااطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَاطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ، وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ

Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat hati dan jiwa merasa tenang, sedangkan dosa adalah sesuatu yang membuat hati gelisah dan menimbulkan kebimbangan dalam dada (HR. Ahmad dan lain-lain. Syekh Al-Albani menilai hadis ini hasan)

Hadis tersebut menerangkan bahwa perbuatan dosa adalah tindakan yang bertentangan dengan hati nurani, tidak sesuai dengan fitrah yang suci. Karena itu, idul fitri dapat berarti kembali kepada hati nurani, yang hanya cenderung kepada kebaikan dan kebenaran sesuai dengan fitrahnya. Keadaan ini hanya bisa diraih oleh orang yang benar-benar telah melatih dirinya dengan ibadah puasa selama bulan Ramadan. Nabi Saw bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melaksanakan ibadah puasa atas dasar iman dan penuh perhitungan, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Idul fitri berarti kembali kepada kesucian. Kesucian, kata Quraish Shihab (1992), adalah gabungan tiga unsur: benar, baik dan indah. Sehingga, seseorang yang ber-idul fitri dalam arti “kembali ke kesuciannya” akan selalu berbuat yang indah, baik dan benar. Bahkan lewat kesuciannya itu, ia akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Ia akan selalu mencari sisi-sisi yang baik, benar dan indah. Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika dan mencari yanag benar menimbulkan ilmu. Dengan pandangan demikian, ia akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan dan keburukan orang lain. Kalaupun itu terlihat, selalu dicarinya nilai-nilai positif dalam sikap negatif tersebut. Dan apabila hal itu tak ditemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada orang yang melakukan kesalahan.

Menyambut Idul Fitri

Idul fitri adalah hari raya umat Islam setelah selesai melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Idul fitri artinya kembali kepada kesucian (fitrah). Setiap pribadi muslim yang telah menyelesaikan ibadah puasa dengan dasar iman dan penuh perhitungan, ia akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosa yang pernah dilakukan, bagaikan bayi yang baru lahir dari rahim ibunya.( HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Untuk mengagungkan dan memarakkan suasana idul fitri, disunnahkan :

Pertama, mengagungkan asma Allah dengan melaksanakan “takbiran”, yakni mengumandangkan takbir, tahmid dan taqdis, mulai dari terbenamnya matahari pada malam iduli fitri hingga shalat iduli fitri dilaksanakan; Contoh lafal takbir menurut riwayat Umar dan Ibn Mas’ud (baca Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, I/275) adalah sebagai berikut:

أَللهُ اَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada Tuhan kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar. Bagi Allahlah segala puji

Kedua, Pada saat hari raya idul fitri di sunnahkan melakukan hal-hal sbb: a). Mandi besar, sebelum shalat idul fitri; b). Memakai pakaian yang baik dan sopan disertai harum-haruman; c). Makan dan minum sekedarnya sebelum berangkat menuju ke tempat shalat idul fitri, sebagai tanda bahwa hari itu sudah tidak puasa; d). Menempuh perjalanan menuju tempat shalat dan kembali dari shalat melalui jalan yang berbeda; e). Melaksanakan shalat sunnah idul fitri dua rakaat secara berjamaah di lapangan; f). Mengadakan silaturrahim (halal bi halal) antara satu dengan yang lain, setelah shalat idul fitri. Dan bila bertemu antara satu dengan yang lain dianjurkan mengucapkan :

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ

“Semoga Allah berkenan menerima amal-amal kita”
(Sabiq, Fiqhus Sunnah, Vol. I, 274. Baca juga al-Albani, Tamamul Minnah, 335)

Halal bi Halal

Halal bi halal adalah sebuah tradisi yang sudah mengakar di negeri ini. Pelaksanaannya biasa dilakukan setelah shalat idul fitri atau dalam suasana lebaran. Inti dari kegiatan halal bi halal ini adalah sama dengan silaturrahim.
Jika dilihat dari asal-usul istilah halal bi halal, memang tidak ditemukan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Bahkan dalam kamus bahasa Arab pun tidak ada istilah halal bi halal.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka terdapat keterangan bahwa halal bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari lebaran. Atas dasar ini, maksud halal bihalal sesuai dengan istilah bahasa Indonesia adalah untuk menciptakan suasana saling memaafkan antara satu dengan yang lain (Tim Penyusun Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,1989 hal, 293).

Berdasarkan maksud penyelenggaraan halal bi halal tersebut, ada ulama yang berusaha melakukan identifikasi mengenai asal-usul istilah halal bi halal ini. Menurutnya, istilah halal bi halal ini mungkin diambil dari ungkapan sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari sbb:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأَِخِيْهِ فِى عِرْضِهِ أَوْ شَيْئٍ
فَلْيَتَحَلّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ (رواه البخارى)

“Barangsiapa melakukan penganiayaan (kesalahan) terhadap orang lain, baik menyangkut kehormatan ataupun yang lain, maka hendaknya pada saat itu juga minta dihalalkan/dimaafkan”. (HR. Al-Bukhari)

Pada hadis tersebut terdapat ungkapan bahasa Arab “fal yatahallalhu”, yang artinya hendaknya minta dihalalkan atau dimaafkan. Kata-kata inilah yang diambil oleh ulama Indonesia tempo dulu dalam rangka menciptakan suatu momen di mana antara satu orang dengan yang lain bisa saling memaafkan. Istilah saling halal menghalalkan ini kemudian didekatkan dengan kaidah bahasa Arab sehingga menjadi halal bi halal.

Dengan demikian, halal bi halal bukanlah asli istilah dari Arab, tetapi sengaja dibuat oleh ulama Indonesia dengan menggunakan kosakata Arab.
Sebenarnya perintah untuk saling halal-menghalalkan atau maaf-memaafkan antara satu dengan yang lain, bukanlah hanya pada saat lebaran atau dalam suasana idul fitri saja, akan tetapi berlaku sepanjang waktu, kapan saja, di mana saja bilamana telah melakukan kesalahan atau penganiayaan kepada orang lain. Imam al-Kahlani al-Shan’ani dalam kitabnya “Subul al-Salam” mengatakan bahwa berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari tersebut menunjukkan “wujub al-istihlal”, yakni kewajiban meminta maaf kepada orang yang didzalimi.

Mengenai ditempatkannya acara halal bi halal pada suasana lebaran atau suasana idul fitri, hal ini ada hubungannya dengan amalan ibadah puasa. Salah satu bukti orang yang berhasil melakukan ibadah puasa adalah munculnya sikap atau kepribadian yang positif, di antaranya adalah suka memaafkan kepada orang lain. Nah, dengan melakukan halal bi halal yakni saling memaafkan antara satu dengan yang lain, diharapkan hal itu menjadi salah satu bukti keberhasilan ibadah puasanya. Orang inilah yang insya Allah akan benar-benar dapat menikmati hakikat ber-idul fitri.
Wallahu a’lam !

Sumber : http://zuhdidh.blogspot.com/2011/05/idul-fitri-dan-halal-bihalal.html

Kamis, 15 Agustus 2013

Tata Cara Puasa Syawal


Puasa Syawal kita tahu memiliki keutamaan yang besar yaitu mendapat pahala puasa setahun penuh. Namun bagaimanakah tata cara melakukan puasa Syawal?

Keutamaan Puasa Syawal

Kita tahu bersama bahwa puasa Syawal itul punya keutamaan, bagi yang berpuasa Ramadhan dengan sempurna lantas mengikutkan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka ia akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Itulah dalil dari jumhur atau mayoritas ulama yag menunjukkan sunnahnya puasa Syawal. Yang berpendapat puasa tersebut sunnah adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Imam Ahmad. Adapun Imam Malik memakruhkannya. Namun sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah, “Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawal didukung dengan dalil tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ditinggalkan walau mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir jika puasa Syawal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)

Seperti Berpuasa Setahun Penuh

Kenapa puasa Syawal bisa dinilai berpuasa setahun? Mari kita lihat pada hadits Tsauban berikut ini,
عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) »
Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fithri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Karena siapa saja yang melakukan kebaikan, maka akan dibalas sepuluh kebaikan semisal.”  (HR. Ibnu Majah no. 1715. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Disebutkan bahwa setiap kebaikan akan dibalas minimal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan sebulan penuh akan dibalas dengan 10 bulan kebaikan puasa. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal akan dibalas minimal dengan 60 hari (2 bulan) kebaikan puasa. Jika dijumlah, seseorang sama saja melaksanakan puasa 10 bulan + 2 bulan sama dengan 12 bulan. Itulah mengapa orang yang melakukan puasa Syawal bisa mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh.

Tata Cara Puasa Syawal

1- Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari
Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari. Lafazh hadits di atas adalah: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).
2- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Para fuqoha berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri (1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan kebaikan.” (Syarhul Mumti’, 6: 465).
3- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berkata, “Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan.” (Idem)
4- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).
Begitu pula beliau mengatakan, “Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 392).
5- Boleh melakukan puasa Syawal pada hari Jum’at dan hari Sabtu.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).
Hal ini menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jum’at karena bertepatan dengan kebiasaan.
Adapun berpuasa Syawal pada hari Sabtu juga masih dibolehkan sebagaimana puasa lainnya yang memiliki sebab masih dibolehkan dilakukan pada hari Sabtu, misalnya jika melakukan puasa Arafah pada hari Sabtu. Ada fatwa dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut ini.

Soal:
Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arafah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada  yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arafah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arafah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas  mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.
Jawab:
Boleh berpuasa Arafah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arafah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih. (Fatwa no. 11747. Ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan).
Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan puasa Syawal ini setelah sebelumnya berusaha menunaikan puasa qodho’ Ramadhan. Hanya Allah yang memberi hidayah untuk terus beramal sholih.

Disusun di pagi hari penuh berkah, 2 Syawal 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
==========